HELP THE OCEANS
posted by Shore Crew
The oceans aren’t in a great state, lets face it. We’ve been neglecting them for some time now. We’ve been hauling the life out of the oceans and onto our plates in quantities we can’t sustain and then shoving all our rubbish and waste back in afterwards. You don’t have to be a great scientist to know that this isn’t doing much good, and many are battling for more ocean protection zones; something that only 1% of our oceans have.
But what is it that you can do? We may all feel pretty powerless, I mean, short of grabbing a roll of red tape and cordoning huge areas of water off [which, by the way, I wouldn't recommend attempting] you may think there’s little you can do to help. But here at Plastiki HQ we’re big believers in small actions making big changes, and if we all could alter our own behaviour and help others do the same then we could be on to something. Like cutting out single-use plastics. Just think, if half the population did this, that would be half the number of plastic bottles being produced, half the barrels of oil used in production, half the carbon emissions used to transport them and half the number of bottles working there way into our oceans. Imagine*if everyone did it! We’re already seeing whole towns banning plastic bottles like the US town of Concorde and Bundanoon in Australia.
So, if you wanted to make steps towards Helping the Oceans then why not join 3000 other people and take the My Plastiki pledge. We’ve also made lots of fab looking posters and info-graphics for you to put up in your home, classroom or office and help bring the plight of our oceans into the forefront of people’s consciousness.
This is our most recent creation – nice isn’t it?! Oh and watch this space for the moving animated version, coming soon. You can see more of our posters in our download section and our Flickr album.
p.s Don’t forget its a Friday, or ‘Fish Free Friday’ as well like to call it – so remember to check out what this week’s fish, a Greenland Halibut, is up to here.
Kamis, 23 Februari 2012
The Plastiki Blog
Kamis, 09 Februari 2012
Ayahku Pastilah Orang Yang Hebat
Ayahku pastilah makan kayu berapi
Karena, hatinya selalu hangat
Ayahku pastilah keturunan seorang dewa
Karena, tulang - tulangnya selalu kuat mengangkat beban
Ayahku pastilah berbakat jadi seorang pelawak
Karena, dirinya selalu membuat keluarganya tertawa karena ceritanya
Ayahku pastilah mengidolakan seorang biksu
Karena, dirinya selalu suci dan bijak
Ayahku pastilah ksatria berkuda putih
Karena, dirinya seorang yang tangguh dan berani
Ayahku layaknya danau yang dalam dan tenang
Karena, dirinya orang yang pandai dan tenang
Ayahku pastilah menderita amnesia
Karena, dirinya selalu melupakan segala masalahnya
Ayahku pastilah orang yang hebat
Yang akan selalu dihatiku, takkan tergantikan
By : Mifta X.B
Karena, hatinya selalu hangat
Ayahku pastilah keturunan seorang dewa
Karena, tulang - tulangnya selalu kuat mengangkat beban
Ayahku pastilah berbakat jadi seorang pelawak
Karena, dirinya selalu membuat keluarganya tertawa karena ceritanya
Ayahku pastilah mengidolakan seorang biksu
Karena, dirinya selalu suci dan bijak
Ayahku pastilah ksatria berkuda putih
Karena, dirinya seorang yang tangguh dan berani
Ayahku layaknya danau yang dalam dan tenang
Karena, dirinya orang yang pandai dan tenang
Ayahku pastilah menderita amnesia
Karena, dirinya selalu melupakan segala masalahnya
Ayahku pastilah orang yang hebat
Yang akan selalu dihatiku, takkan tergantikan
By : Mifta X.B
Kau Tiba - Tiba Disana, Untukku
Saat aku berdiri dan terjatuh
Aku melihat kebelakang
Kau tiba - tiba disana
Bersiap menangkapku, bersiap meraihku
Saat aku berjalan sendiri, tenggelam dalam gelapnya malam
Aku melihat kebelakang
Kau tiba - tiba disana
Mengikuti dan mengawasiku
Saat aku lelah dan putus asa
Aku melihat kebelakang
Kau tiba - tiba disana
Tersenyum padaku, mencoba menyemangatiku
Saat air mataku perlahan menetes
Aku melihat kebelakang
Kau tiba - tiba disana
Membiarkan jari - jarimu menyekanya
Saat hatiku mulai membeku, menanti sesuatu yang tak pasti
Aku melihat kebelakang
Kau tiba - tiba disana
Memelukku, menghangatkanku
Kau selalu disana, dan terus disana
Dan tiba - tiba disana
Selalu bersamaku meski aku tak pernah mampu
Membuatmu bahagia sepenuhnya karenaku
Saat kulihat matamu
Kau indah, intan berlian bersinar disana
Sinar yang seterang bintang
Yang memintaku tersenyum saat menatapnya
Kau yang selalu datang
Dan tak berniat pergi
Kau sesuatu yang indah
Yang selalu kusebut "Ibu"
By : Mifta X.B
Aku melihat kebelakang
Kau tiba - tiba disana
Bersiap menangkapku, bersiap meraihku
Saat aku berjalan sendiri, tenggelam dalam gelapnya malam
Aku melihat kebelakang
Kau tiba - tiba disana
Mengikuti dan mengawasiku
Saat aku lelah dan putus asa
Aku melihat kebelakang
Kau tiba - tiba disana
Tersenyum padaku, mencoba menyemangatiku
Saat air mataku perlahan menetes
Aku melihat kebelakang
Kau tiba - tiba disana
Membiarkan jari - jarimu menyekanya
Saat hatiku mulai membeku, menanti sesuatu yang tak pasti
Aku melihat kebelakang
Kau tiba - tiba disana
Memelukku, menghangatkanku
Kau selalu disana, dan terus disana
Dan tiba - tiba disana
Selalu bersamaku meski aku tak pernah mampu
Membuatmu bahagia sepenuhnya karenaku
Saat kulihat matamu
Kau indah, intan berlian bersinar disana
Sinar yang seterang bintang
Yang memintaku tersenyum saat menatapnya
Kau yang selalu datang
Dan tak berniat pergi
Kau sesuatu yang indah
Yang selalu kusebut "Ibu"
By : Mifta X.B
Seandainya Ada, Sebuah Tangan Untuk Kugenggam
Bentangan sutera terbentang memenuhi angkasa
Birunya tak juga juga menyejukkan hatiku yang sendu
Kilaunya tak kunjung menyembuhkan luka didadaku
Dalam kemelut rindu, raga ini mencoba berdiri
Diatas jutaan kerikil tajam, tubuh ini mencoba bertahan
Seandainya ada, segenggam tangan untuk kugenggam
Sanggupkah kuajak berlari?
Melewati kerasnya terpaan angin kehidupan
namun kedua telapak tangan ini tak mampu
Tanpa cinta dan kasih
Sanggupkah kutelusuri hidupku sendiri?
Hanya dengan seberkas cahaya lintang dan bayanganku yang masih bertahan
By : Mifta X.B
Belajarlah memaafkan dirimu sendiri
Birunya tak juga juga menyejukkan hatiku yang sendu
Kilaunya tak kunjung menyembuhkan luka didadaku
Dalam kemelut rindu, raga ini mencoba berdiri
Diatas jutaan kerikil tajam, tubuh ini mencoba bertahan
Seandainya ada, segenggam tangan untuk kugenggam
Sanggupkah kuajak berlari?
Melewati kerasnya terpaan angin kehidupan
namun kedua telapak tangan ini tak mampu
Tanpa cinta dan kasih
Sanggupkah kutelusuri hidupku sendiri?
Hanya dengan seberkas cahaya lintang dan bayanganku yang masih bertahan
By : Mifta X.B
Belajarlah memaafkan dirimu sendiri
412105
Tit... Tit... Tit...
"Tidak! Bomnya hampir meledak, kita harus menghentikannya!", Joe kembali membakar semangat kami yang sedari tadi telah tergeletak tanpa tenaga setelah terjebak bersama sebuah bom yang hampir meledak.
Hah, bagaimana bisa? Kami memang dikirim dalam sebuah misi penting tapi saat ini hanya kami yang tersisa bersama bom dan hanya kami pula yang tak diberi pelatihan sedikitpun tentang bom, tidak pernah sama sekali.
"Jangan bodoh Joe!", bentak Ron dengan raut wajah marah sambil menarik Joe mundur menjauh dari bomnya.
"Kau tak mengerti! Kita akan mati, aku tahu apa yang kulakukan!" Joe membantah Ron sambil melayangkan kepalan tangannya di pelipis kanan Ron dan membuatnya terhempas.
Joe bangkit dan berusaha melakukan sesuatu untuk menghentikannya.
"Kode!"
"Hentikan!", bentak Ron setelah berhasil bangkit lantas kembali menyerang Joe.
Mereka berdua beradu kekuatan. Aku bingung, sangat bingung mengapa Ron membiarkan timernya terus berjalan tanpa berusaha membuatnya berhenti. Hah, kurasa ada yang tak beres.
2 : 15 detik.
"Sial... Waktunya...", ucapku membuat Joe dan Ron berhenti dan menatap kearah bomnya.
Joe berusaha melepaskan diri dari tikaman Ron dan...
"Oh tidak... Apa ini, aku tak mengerti!".
"Brakk!", Ron mendorong tubuh Joe hingga terpental ke tanah.
"Kau gila Ron? Kita dipihak yang sama! Kau, aku dan Joe!", bentakku pada Ron sambil mendorongnya.
"Tidak lagi bila diujung kematian!".
Joe berusaha bangkit kembali dan mulai melakukan sesuatu.
"Kita ada di koordinat berapa, Ann?", Joe memulainya kembali.
"Entahlah, kita kehilangan sinyal".
"Uh! Sial!".
1 : 20 detik.
Waktu terus berputar, kami bisa saja dengan mudah meninggalkan tempat ini, namun tidak akan begitu. Menurut informasi dari markas besar bom ini disiapkan teroris untuk menghancurkan kota ini. Dan kami ada dipihak yang benar dimata pemerintah.
"Matilah kita!", tandas Joe kemudian menghela nafas panjang.
59 detik.
"Tunggu! Kalau mereka...".
"Diam!", Ron membentak Joe dan kami pun diam.
Huh, Ron kau ini kenapa? Apa kau gila?
Waktu tinggal 35 detik lagi dan kami harus melakuakn sesuatu atau... mati.
"Aakh!", teriak Joe sekeras - kerasnya sambil berusaha memotong kabel bom itu dengan pisau lipat yang telah karatan.
"Joe! Kodenya!".
15 detik.
"Brakk!", Ron melemparkan tubuhnya membentur tanah.
Tit... Tit... Tit...
"Ini dia, cobalah!".
"4...12...1...0...5".
Klik.
Tit.....
"Kita berhasil!", Joe berteriak sekencang - kencangnya, dapat kulihat raut wajahnya begitu bangga.
"Lari!!!...", teriak Ron sambil menarik kami berdua atau lebih tepatnya menyeret.
"Kau gila!", balas Joe berusaha melawan tarikan tangan Ron.
"Dasar bodoh! Kalian telah mengaktifkan bomnya!".
"Lihat!".
"Sial!".
Tit... Tit... Tit...
Kami berlari menembus apapun, tak peduli yang terjadi kami telah berusaha.
"Ann, sampai... radius... hah... berapa... ledakannya?", tanya Ron terengah - engah.
"Entahlah, yang pasti... hah... hah... seluruh kota ini... akan hancur", balasku dengan nafas tersendat - sendat.
"Tunggu, berhenti sebentar, aku...".
"Brakk!".
Joe tak kuat lagi berdiri, kurasa dia lelah, sangat lelah. Joe ambruk sebelum kami mencapai tempat yang lebih baik dari tempat ini.
"Joe!", teriak Ron dengan lantang sambil mengguncang tubuhnya dan aku... berusaha memeriksa keadaannya.
"Dia... Pingsan", balasku dengan nafas tertahan.
"Kita berhenti disini", Ron menginstruksi kami yah... meskipun sebenarnya hanya padaku.
"Tapi bomnya...", ucapku dengan sangat khawatir, kulihat mimik Ron begitu santai, sangat santai. Lelaki itu menghela nafas panjang dan berkata...
"Ann, kita akan mati terhormat karena tugas kita dan... kalaupun kita pergi, bagaimana dengan Joe?", Ron menjelaskan padaku seakan menusukkan duri yang tajam, bagaimana tidak. Ron sedari awal sangat kontra terhadap Joe tapi saat ini... saat Joe terbaring lemah, dirinya-lah yang paling peka.
Entahlah aku begitu bingung, apakah ini yang disebut 'teman'?.
"Ann, kau lihat berapa waktu yang tersisa saat bomnya mulai aktif?".
"Ya, 3 : 15 detik, kurasa begitu".
"Sial!'.
"Mungkinkah bomnya dinonaktifkan mereka?", tanyaku pada Ron yang terlihat geram.
"Pasti, kurasa kita disini sudah lebih dari 5 menit".
Timernya berhenti? Mungkinkah itu, berarti mereka telah menonaktifkannya. Tapi apa maksudnya ini? Kenapa disaat bomnya telah aktif dan siap menghancurkan kota ini justru mereka menonaktifkannya? Kurasa ini tipuan.
"Ann, jaga dia! Aku akan segera kembali, kurasa... ini tipuan", well, pola pikir yang hampir sama.
"Kau yakin?".
"Ya!", balas lelaki itu lantas berlari sekencang - kencangnya.
Tak lama kemudian Ron kembali dengan nafas terengah - engah.
"Yah... Sudah dinonaktifkan, tapi jangan terlalu bangga, mereka justru berpeluang lebih karena ini".
Aku mengangguk pasti. Dan... Hari ini kami kembali ke markas besar yang berada tepat di jantung kota.
Dan hari ini pula puluhan wartawan meminta kesaksian kami. Yah, kurasa benar mengapa mereka disebut kuli tinta karena mereka memang selalu 'mengoleksi' tinta untuk dibagikan pada khalayak umum.
"Ya... Bomnya telah nonaktif".
Tak lama setelah itu berjuta ucapan terima kasih tertuju pada kami dan team 1.
"Kabar baik mengawali tahun ini. Bom yang ditemukan di Holy Hills akhirnya telah dinyatakan tidak aktif namun..."
Berita pagi yang menenggelamkan berjuta harapan setelah sang pembaca berita menyatakan bahwa "bom yang diketahui dirancang oleh teroris tersebut telah dinyatakan hilang...".
Tak mungkin, itu artinya beberapa menit setelah kami meninggalkan Holy Hills dan memang itu suatu pemanfaatan yang bagus karena saat itu pula kami kehilangan sinyal dengan markas besar.
Tanganku meraih handphone yang terletak diatas meja dan kutemukan nomor yang kucari.
"Ron!"
"Ya, Ann! Ada masalah?"
"Bomnya hilang!"
"Benarkah?"
"Ya! Temui aku di Nashville Park sekarang!".
Klik.
Aku bergegas menuju tempat yang kukatakan pada Ron dalam telpon dan... tak ada beberapa menit aku telah dihadang seorang lelaki bertubuh tinggi dan atletis serta berkulit kecoklatan, itulah Ron.
Kami mengambil tempat duduk didekat 'rumah' merpati. Dan aku menceritakan semuanya pada Ron tanpa kecuali.
"Matilah kita!".
"Tidak! Kalau tebakanku benar, ikutlah aku ke Detroit besok pagi - pagi buta".
"Apa maksudmu?".
"Bila kau masih ingin melihat matahari, pikirkan!".
"Tidak! Aku takkan berkhianat pada negaraku! Bila satu orang harus mati karena berkorban maka bolehlah yang lain tidak, tapi bila semua berkorban untuk salah seorang, maka tak ada alasan untuk tidak melakukan sesuatu yang lebih", balasku pada Ron yang tengah asyik memainkan game di handphonenya.
Sialan!
"Terserah kau!", Ron menjawab singkat lantas berlalu sambil menyerahkan selembar note sebelum pergi.
"412105".
"Kode!"
Berita tentang bom di Holy Hills itu telah menjadi headline di berbagai surat kabar, tak hanya itu berita tentang bom itu telah menjadi berita utama serta topik diskusi terhangat akhir - akhir ini.
"Syukurlah... Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi", ucap seorang wanita muda nan cantik pada kekasihnya disebuah persimpangan jalan dimana mereka berdiri tepat disampingku.
Entah mengapa aku merasa tak yakin, ada sebuah perasaan yang buruk hinggap dihatiku.
Aku takut, tapi aku juga bingung. Ah, kau ini kenapa Anne.
"Ann, ada kabar buruk!", Kenny mencegahku dengan sebuah pernyataan yang buruk, buruk sekali.
"Katakan!".
"Paman Grint meninggal...".
"Kapan?", tanyaku pada Kenny sambil bergegas menuju kamarku.
"Dengarkan aku! Tadi pagi beliau meninggal karena serangan jantung mendadak dan besok kita harus ke... Detroit".
Detroit... Jantungku berdetak kencang mendengar nama kota itu disebut. Ini sudah yang kedua kalinya.
"Anne!", bentak kakakku membuyarkan lamunanku.
"Ya, nanti kau kuberi kabar!", timpalku lantas berlalu menaiki tangga. Kulihat raut wajah Kenny nampak begitu kesal, bingung, dan geram.
Kulemparkan tubuhku keatas ranjang yang berlapiskan kain bergambar guguran daun dengan background hijau rumput.
Uh, Detroit!
Rrrrr... Handphoneku bergetar, sebuah panggilan masuk dari... Joe.
"Hey, ini kau kan? Ann!"
"Kau pikir siapa?"
"Hm, langsung saja, Ketua Unit 3 mengirim team 1 ke Detroit dan itu termasuk kita".
Dug... Jantungku berdetak kencang. Aku terdiam. Aku merasa seperti terhantam bola baja yang besar dan remuk sudah.
"Anne! Kau masih disana?"
"Hm... Ya tentu, well kapan?"
"Besok pagi".
"Ya, nanti kau kuberi kabar secepatnya, well bye!"
Aku mematikan sambungan telponku dengan Joe. Ah, Detroit lagi, kenapa harus terulang dan ini untuk ketiga kalinya. Apa ini sebuah takdir?.
Malam ini aku tidur denga perasaan campur aduk sebelum akhirny` kuputuskan untuk tetap terjaga.
Aku mengemasi barang - barangku, hampir semua tak terkecuali sebuah gantungan kunci berbentuk daun pemberian dari sahabatku, Alice.
Pagi yang kelabu. Embun membasahi segalanya termasuk jiwaku. Burung burung enggan terbang tinggi bahkan kucing pun hanya bermalas - malasan, yah... meskipun normalnya memang begitu.
Yah... Detroit aku akan kesana, kuarasa.
Aku dan beberapa orang dari team 1 Unit 3 meninggalkan kota kecil ini menuju Detroit yang tak jauh namun cukup untuk mendendangkan seratus lagu ditengah perjalanan.
Tunggu... Apa itu?
Sebuah asap kelabu dari sebuah ladang jagung.
412105.
"Kode!".
Tit... Tit... Tit...
Sebuah suara yang cukup keras yang kudengar persis seperti beberapa waktu yang lalu sebelum bom yang ada di Holy Hills itu hampir meledak.
Itukah...
"Lihat!", Aku meminta semua yang ada di mobil tank ini melihat kearah yang kutunjuk. Ya, kami memang belum jauh dari kota kami, semuanya masih nampak dan terdengar cukup jelas.
"Tidak...", ucap Marina yang duduk di dekatku.
Nampak sebuah gumpalan awan yang kemudian...
"Tambah kecepatan!", perintah Joe pada juru kemudi tank ini. Dan...
"3... 2... 1...", aku menghitung dalam hati.
"Duarrrr!!!!", sebuah ledakan besar menghancurkan kota kami. Dan puing - puing dari ledakan itu beterbangan mengenai kami. Nampak gumpalan menyerupai jamur yang besar, aku ingat suatu hal, saat Nagasaki dan Hiroshima dibom oleh sekutu, dan saat ini... kotaku yang tercinta.
Air mataku menetes... Tuhan telah menyelamatkanku. Tapi kota itu... Kota kecil dimana aku dilahirkan, dibesarkan, dan dibanggakan. Aku merasa hancur, remuk karena ledakan itu. Aku melihatnya, dengan mataku sendiri. Kami semua menangis sedih, kami saja yang tersisa.
Nampak gumpalan awan gelap kemerahan... Ah, sudahlah aku tak mampu menggambarkan lagi. Aku merasa sesak dan tak kuasa menahan kesedihanku. Entahlah, rasanya selalu seperti ini meski Joe telah berusaha menengkanku.
Berjuta memori di otakku berputar satu persatu dan aku teringat pada seorang wanita muda nan cantik dengan kekasihnya disebuah persimpangan jalan yang beberapa hari lalu berdiri tepat disampingku. Tuhan... Aku merasa gagal menjalankan kewajibanku. Maafkan aku.
Kami berhenti pada sebuah tempat yang kami jadikan markas sementara. Kami telah berada di Detroit.
Rrrrrr... Handphoneku bergetar. Sebuah panggilan masuk dari... Ron.
"Aku tahu kau disini".
"Kau bicara apa?"
"Datanglah ke taman kota, please!"
"Tunggu aku!"
Klik.
Aku meninggalkan rekan - rekanku dan menuju taman kota. Aku tak ingin beristirahat sedikitpun, aku ingin bertemu Ron, sangat ingin.
"Ron...!", panggilku pada seorang lelaki yang tengah membaca koran sambil berdiri di suatu sudut taman kota.
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu..."
"Ya, katakan! Katakan kalau kau telah menipu kami!", balasku pada Ron dengan raut wajah geram, sangat geram.
Ron memasang tampang kebingungan, sangat kebingungan. Aku mencoba menghancurkan jutaan karang yang tumbuh dihatinya.
"Katakan!".
"Ya, maafkan aku. Aku... Bagian dari mereka. Aku... Yang menonaktifkan bom itu. Tapi aku tak berniat membunuh kalian, sungguh itu diluar kendaliku".
"Hah... bagus, kurasa kau menang dalam perlombaan menipu, kau tahu nasib mereka Ron? Kau tahu keadaan kota itu? Kau... jahat!", aku membentaknya, kedua tanganku yang telah mengepal kutonjokkan pada perutnya, entahlah, aku merasa sangat - sangat sakit.
"Well, kau benar dan aku salah. Mereka membenciku dan mereka menyayangimu, aku membenci mereka tapi aku menyayangimu... sejak awal, kau telah merubahku, kau tahu? Sejak kau begitu baik padaku meski aku begitu kasar pada awalnya, aku telah berusaha merubah keadaan..."
"Cukup! Aku takkan mau mendengarnya lagi, kau pembunuh Ron, ingat itu...", ucapku sambil berusaha menahan tangis.
Kulihat lelaki di depanku, terdiam, bibirnya terkunci rapat meski aku tahu masih ada sejuta penjelasan darinya. Lelaki itu berusaha menyeka air mataku, berusaha menenangkanku. Tapi aku takkan membiarkannya melakukan hal itu padaku, aku membencinya, sangat.
"Kau harus membayarnya!", balasku padanya dengan setetes air mata meluncur dimataku, lagi.
"Apa maumu?"
"Kau bilang kau menyanyangiku kan? Ikuti perintahku, please!", ucapku sambil mengenggam tangannya, kulihat tanda pengenal Badan Keamanan Negara masih melekat dikemejanya, tapi tidak dihatinya. Menyakitkan.
Aku menggiringnya masuk kemobil yang baru saja kusewa, dan mengemudikannya. Aku tahu karena cinta seseorang bisa menjadi lemah. Dan karena itu Ron begitu lemah, sangat lemah.
"City Jail?", tanya Ron dengan wajah bingung.
"Buktikan cintamu dengan mengatakan apa yang kau lakukan pada polisi!", perintahku dan dia hanya mengangguk.
“Tunggu, bagaimana bisa kode 412105 itu justru mengaktifkan bomnya bukan menghentikannya?”, aku bertanya sambil berusaha mengemudi dengan baik.
“Telah kumodifikasi!”, balasnya dengan lirih, aku tahu sebuah nada penyesalan mengiringi kata - kata yang meluncur dari mulutnya. Dan aku juga sangat menyesalinya.
Kasus itu telah diproses oleh kepolisian kota Detroit meskipun Ron bersikeras tak mau membocorkan organisasinya pada polisi, yah... aku tahu dia pasti keras kepala.
Hari ini, untuk pertama kalinya kutengok Ron di penjara kota sebelum kasusnya diurus di pengadilan. Sungguh, bila aku harus berkata jujur aku hanya ingin mengatakan "Apapun yang kurasakan selalu sama dengamu, Ron".
Dan hari ini, kulayangkan selembar kertas hitam dengan tinta merah darah bertuliskan :
"412105".
"Kode!".
Ya, sebuah kode yang belakangan kuketahui dibaca ADIOS, bukan ARIOS. Sebuah kode yang membuatku menghargai hidup. Dan aku pun tahu, takkan ada pertemuan tanpa sebuah perpisahan.
"Adios!", Aku mengucapkan kata terakhirku pada Ron sebelum benar - benar pergi meninggalkannya.
"Goodbye!", jawabnya singkat, dan itu membuatku merasa semakin menjauh darinya. Sangat jauh.
Setetes air mataku meluncur, aku berharap merah yang mengalir.
"Tidak! Bomnya hampir meledak, kita harus menghentikannya!", Joe kembali membakar semangat kami yang sedari tadi telah tergeletak tanpa tenaga setelah terjebak bersama sebuah bom yang hampir meledak.
Hah, bagaimana bisa? Kami memang dikirim dalam sebuah misi penting tapi saat ini hanya kami yang tersisa bersama bom dan hanya kami pula yang tak diberi pelatihan sedikitpun tentang bom, tidak pernah sama sekali.
"Jangan bodoh Joe!", bentak Ron dengan raut wajah marah sambil menarik Joe mundur menjauh dari bomnya.
"Kau tak mengerti! Kita akan mati, aku tahu apa yang kulakukan!" Joe membantah Ron sambil melayangkan kepalan tangannya di pelipis kanan Ron dan membuatnya terhempas.
Joe bangkit dan berusaha melakukan sesuatu untuk menghentikannya.
"Kode!"
"Hentikan!", bentak Ron setelah berhasil bangkit lantas kembali menyerang Joe.
Mereka berdua beradu kekuatan. Aku bingung, sangat bingung mengapa Ron membiarkan timernya terus berjalan tanpa berusaha membuatnya berhenti. Hah, kurasa ada yang tak beres.
2 : 15 detik.
"Sial... Waktunya...", ucapku membuat Joe dan Ron berhenti dan menatap kearah bomnya.
Joe berusaha melepaskan diri dari tikaman Ron dan...
"Oh tidak... Apa ini, aku tak mengerti!".
"Brakk!", Ron mendorong tubuh Joe hingga terpental ke tanah.
"Kau gila Ron? Kita dipihak yang sama! Kau, aku dan Joe!", bentakku pada Ron sambil mendorongnya.
"Tidak lagi bila diujung kematian!".
Joe berusaha bangkit kembali dan mulai melakukan sesuatu.
"Kita ada di koordinat berapa, Ann?", Joe memulainya kembali.
"Entahlah, kita kehilangan sinyal".
"Uh! Sial!".
1 : 20 detik.
Waktu terus berputar, kami bisa saja dengan mudah meninggalkan tempat ini, namun tidak akan begitu. Menurut informasi dari markas besar bom ini disiapkan teroris untuk menghancurkan kota ini. Dan kami ada dipihak yang benar dimata pemerintah.
"Matilah kita!", tandas Joe kemudian menghela nafas panjang.
59 detik.
"Tunggu! Kalau mereka...".
"Diam!", Ron membentak Joe dan kami pun diam.
Huh, Ron kau ini kenapa? Apa kau gila?
Waktu tinggal 35 detik lagi dan kami harus melakuakn sesuatu atau... mati.
"Aakh!", teriak Joe sekeras - kerasnya sambil berusaha memotong kabel bom itu dengan pisau lipat yang telah karatan.
"Joe! Kodenya!".
15 detik.
"Brakk!", Ron melemparkan tubuhnya membentur tanah.
Tit... Tit... Tit...
"Ini dia, cobalah!".
"4...12...1...0...5".
Klik.
Tit.....
"Kita berhasil!", Joe berteriak sekencang - kencangnya, dapat kulihat raut wajahnya begitu bangga.
"Lari!!!...", teriak Ron sambil menarik kami berdua atau lebih tepatnya menyeret.
"Kau gila!", balas Joe berusaha melawan tarikan tangan Ron.
"Dasar bodoh! Kalian telah mengaktifkan bomnya!".
"Lihat!".
"Sial!".
Tit... Tit... Tit...
Kami berlari menembus apapun, tak peduli yang terjadi kami telah berusaha.
"Ann, sampai... radius... hah... berapa... ledakannya?", tanya Ron terengah - engah.
"Entahlah, yang pasti... hah... hah... seluruh kota ini... akan hancur", balasku dengan nafas tersendat - sendat.
"Tunggu, berhenti sebentar, aku...".
"Brakk!".
Joe tak kuat lagi berdiri, kurasa dia lelah, sangat lelah. Joe ambruk sebelum kami mencapai tempat yang lebih baik dari tempat ini.
"Joe!", teriak Ron dengan lantang sambil mengguncang tubuhnya dan aku... berusaha memeriksa keadaannya.
"Dia... Pingsan", balasku dengan nafas tertahan.
"Kita berhenti disini", Ron menginstruksi kami yah... meskipun sebenarnya hanya padaku.
"Tapi bomnya...", ucapku dengan sangat khawatir, kulihat mimik Ron begitu santai, sangat santai. Lelaki itu menghela nafas panjang dan berkata...
"Ann, kita akan mati terhormat karena tugas kita dan... kalaupun kita pergi, bagaimana dengan Joe?", Ron menjelaskan padaku seakan menusukkan duri yang tajam, bagaimana tidak. Ron sedari awal sangat kontra terhadap Joe tapi saat ini... saat Joe terbaring lemah, dirinya-lah yang paling peka.
Entahlah aku begitu bingung, apakah ini yang disebut 'teman'?.
"Ann, kau lihat berapa waktu yang tersisa saat bomnya mulai aktif?".
"Ya, 3 : 15 detik, kurasa begitu".
"Sial!'.
"Mungkinkah bomnya dinonaktifkan mereka?", tanyaku pada Ron yang terlihat geram.
"Pasti, kurasa kita disini sudah lebih dari 5 menit".
Timernya berhenti? Mungkinkah itu, berarti mereka telah menonaktifkannya. Tapi apa maksudnya ini? Kenapa disaat bomnya telah aktif dan siap menghancurkan kota ini justru mereka menonaktifkannya? Kurasa ini tipuan.
"Ann, jaga dia! Aku akan segera kembali, kurasa... ini tipuan", well, pola pikir yang hampir sama.
"Kau yakin?".
"Ya!", balas lelaki itu lantas berlari sekencang - kencangnya.
Tak lama kemudian Ron kembali dengan nafas terengah - engah.
"Yah... Sudah dinonaktifkan, tapi jangan terlalu bangga, mereka justru berpeluang lebih karena ini".
Aku mengangguk pasti. Dan... Hari ini kami kembali ke markas besar yang berada tepat di jantung kota.
Dan hari ini pula puluhan wartawan meminta kesaksian kami. Yah, kurasa benar mengapa mereka disebut kuli tinta karena mereka memang selalu 'mengoleksi' tinta untuk dibagikan pada khalayak umum.
"Ya... Bomnya telah nonaktif".
Tak lama setelah itu berjuta ucapan terima kasih tertuju pada kami dan team 1.
"Kabar baik mengawali tahun ini. Bom yang ditemukan di Holy Hills akhirnya telah dinyatakan tidak aktif namun..."
Berita pagi yang menenggelamkan berjuta harapan setelah sang pembaca berita menyatakan bahwa "bom yang diketahui dirancang oleh teroris tersebut telah dinyatakan hilang...".
Tak mungkin, itu artinya beberapa menit setelah kami meninggalkan Holy Hills dan memang itu suatu pemanfaatan yang bagus karena saat itu pula kami kehilangan sinyal dengan markas besar.
Tanganku meraih handphone yang terletak diatas meja dan kutemukan nomor yang kucari.
"Ron!"
"Ya, Ann! Ada masalah?"
"Bomnya hilang!"
"Benarkah?"
"Ya! Temui aku di Nashville Park sekarang!".
Klik.
Aku bergegas menuju tempat yang kukatakan pada Ron dalam telpon dan... tak ada beberapa menit aku telah dihadang seorang lelaki bertubuh tinggi dan atletis serta berkulit kecoklatan, itulah Ron.
Kami mengambil tempat duduk didekat 'rumah' merpati. Dan aku menceritakan semuanya pada Ron tanpa kecuali.
"Matilah kita!".
"Tidak! Kalau tebakanku benar, ikutlah aku ke Detroit besok pagi - pagi buta".
"Apa maksudmu?".
"Bila kau masih ingin melihat matahari, pikirkan!".
"Tidak! Aku takkan berkhianat pada negaraku! Bila satu orang harus mati karena berkorban maka bolehlah yang lain tidak, tapi bila semua berkorban untuk salah seorang, maka tak ada alasan untuk tidak melakukan sesuatu yang lebih", balasku pada Ron yang tengah asyik memainkan game di handphonenya.
Sialan!
"Terserah kau!", Ron menjawab singkat lantas berlalu sambil menyerahkan selembar note sebelum pergi.
"412105".
"Kode!"
Berita tentang bom di Holy Hills itu telah menjadi headline di berbagai surat kabar, tak hanya itu berita tentang bom itu telah menjadi berita utama serta topik diskusi terhangat akhir - akhir ini.
"Syukurlah... Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi", ucap seorang wanita muda nan cantik pada kekasihnya disebuah persimpangan jalan dimana mereka berdiri tepat disampingku.
Entah mengapa aku merasa tak yakin, ada sebuah perasaan yang buruk hinggap dihatiku.
Aku takut, tapi aku juga bingung. Ah, kau ini kenapa Anne.
"Ann, ada kabar buruk!", Kenny mencegahku dengan sebuah pernyataan yang buruk, buruk sekali.
"Katakan!".
"Paman Grint meninggal...".
"Kapan?", tanyaku pada Kenny sambil bergegas menuju kamarku.
"Dengarkan aku! Tadi pagi beliau meninggal karena serangan jantung mendadak dan besok kita harus ke... Detroit".
Detroit... Jantungku berdetak kencang mendengar nama kota itu disebut. Ini sudah yang kedua kalinya.
"Anne!", bentak kakakku membuyarkan lamunanku.
"Ya, nanti kau kuberi kabar!", timpalku lantas berlalu menaiki tangga. Kulihat raut wajah Kenny nampak begitu kesal, bingung, dan geram.
Kulemparkan tubuhku keatas ranjang yang berlapiskan kain bergambar guguran daun dengan background hijau rumput.
Uh, Detroit!
Rrrrr... Handphoneku bergetar, sebuah panggilan masuk dari... Joe.
"Hey, ini kau kan? Ann!"
"Kau pikir siapa?"
"Hm, langsung saja, Ketua Unit 3 mengirim team 1 ke Detroit dan itu termasuk kita".
Dug... Jantungku berdetak kencang. Aku terdiam. Aku merasa seperti terhantam bola baja yang besar dan remuk sudah.
"Anne! Kau masih disana?"
"Hm... Ya tentu, well kapan?"
"Besok pagi".
"Ya, nanti kau kuberi kabar secepatnya, well bye!"
Aku mematikan sambungan telponku dengan Joe. Ah, Detroit lagi, kenapa harus terulang dan ini untuk ketiga kalinya. Apa ini sebuah takdir?.
Malam ini aku tidur denga perasaan campur aduk sebelum akhirny` kuputuskan untuk tetap terjaga.
Aku mengemasi barang - barangku, hampir semua tak terkecuali sebuah gantungan kunci berbentuk daun pemberian dari sahabatku, Alice.
Pagi yang kelabu. Embun membasahi segalanya termasuk jiwaku. Burung burung enggan terbang tinggi bahkan kucing pun hanya bermalas - malasan, yah... meskipun normalnya memang begitu.
Yah... Detroit aku akan kesana, kuarasa.
Aku dan beberapa orang dari team 1 Unit 3 meninggalkan kota kecil ini menuju Detroit yang tak jauh namun cukup untuk mendendangkan seratus lagu ditengah perjalanan.
Tunggu... Apa itu?
Sebuah asap kelabu dari sebuah ladang jagung.
412105.
"Kode!".
Tit... Tit... Tit...
Sebuah suara yang cukup keras yang kudengar persis seperti beberapa waktu yang lalu sebelum bom yang ada di Holy Hills itu hampir meledak.
Itukah...
"Lihat!", Aku meminta semua yang ada di mobil tank ini melihat kearah yang kutunjuk. Ya, kami memang belum jauh dari kota kami, semuanya masih nampak dan terdengar cukup jelas.
"Tidak...", ucap Marina yang duduk di dekatku.
Nampak sebuah gumpalan awan yang kemudian...
"Tambah kecepatan!", perintah Joe pada juru kemudi tank ini. Dan...
"3... 2... 1...", aku menghitung dalam hati.
"Duarrrr!!!!", sebuah ledakan besar menghancurkan kota kami. Dan puing - puing dari ledakan itu beterbangan mengenai kami. Nampak gumpalan menyerupai jamur yang besar, aku ingat suatu hal, saat Nagasaki dan Hiroshima dibom oleh sekutu, dan saat ini... kotaku yang tercinta.
Air mataku menetes... Tuhan telah menyelamatkanku. Tapi kota itu... Kota kecil dimana aku dilahirkan, dibesarkan, dan dibanggakan. Aku merasa hancur, remuk karena ledakan itu. Aku melihatnya, dengan mataku sendiri. Kami semua menangis sedih, kami saja yang tersisa.
Nampak gumpalan awan gelap kemerahan... Ah, sudahlah aku tak mampu menggambarkan lagi. Aku merasa sesak dan tak kuasa menahan kesedihanku. Entahlah, rasanya selalu seperti ini meski Joe telah berusaha menengkanku.
Berjuta memori di otakku berputar satu persatu dan aku teringat pada seorang wanita muda nan cantik dengan kekasihnya disebuah persimpangan jalan yang beberapa hari lalu berdiri tepat disampingku. Tuhan... Aku merasa gagal menjalankan kewajibanku. Maafkan aku.
Kami berhenti pada sebuah tempat yang kami jadikan markas sementara. Kami telah berada di Detroit.
Rrrrrr... Handphoneku bergetar. Sebuah panggilan masuk dari... Ron.
"Aku tahu kau disini".
"Kau bicara apa?"
"Datanglah ke taman kota, please!"
"Tunggu aku!"
Klik.
Aku meninggalkan rekan - rekanku dan menuju taman kota. Aku tak ingin beristirahat sedikitpun, aku ingin bertemu Ron, sangat ingin.
"Ron...!", panggilku pada seorang lelaki yang tengah membaca koran sambil berdiri di suatu sudut taman kota.
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu..."
"Ya, katakan! Katakan kalau kau telah menipu kami!", balasku pada Ron dengan raut wajah geram, sangat geram.
Ron memasang tampang kebingungan, sangat kebingungan. Aku mencoba menghancurkan jutaan karang yang tumbuh dihatinya.
"Katakan!".
"Ya, maafkan aku. Aku... Bagian dari mereka. Aku... Yang menonaktifkan bom itu. Tapi aku tak berniat membunuh kalian, sungguh itu diluar kendaliku".
"Hah... bagus, kurasa kau menang dalam perlombaan menipu, kau tahu nasib mereka Ron? Kau tahu keadaan kota itu? Kau... jahat!", aku membentaknya, kedua tanganku yang telah mengepal kutonjokkan pada perutnya, entahlah, aku merasa sangat - sangat sakit.
"Well, kau benar dan aku salah. Mereka membenciku dan mereka menyayangimu, aku membenci mereka tapi aku menyayangimu... sejak awal, kau telah merubahku, kau tahu? Sejak kau begitu baik padaku meski aku begitu kasar pada awalnya, aku telah berusaha merubah keadaan..."
"Cukup! Aku takkan mau mendengarnya lagi, kau pembunuh Ron, ingat itu...", ucapku sambil berusaha menahan tangis.
Kulihat lelaki di depanku, terdiam, bibirnya terkunci rapat meski aku tahu masih ada sejuta penjelasan darinya. Lelaki itu berusaha menyeka air mataku, berusaha menenangkanku. Tapi aku takkan membiarkannya melakukan hal itu padaku, aku membencinya, sangat.
"Kau harus membayarnya!", balasku padanya dengan setetes air mata meluncur dimataku, lagi.
"Apa maumu?"
"Kau bilang kau menyanyangiku kan? Ikuti perintahku, please!", ucapku sambil mengenggam tangannya, kulihat tanda pengenal Badan Keamanan Negara masih melekat dikemejanya, tapi tidak dihatinya. Menyakitkan.
Aku menggiringnya masuk kemobil yang baru saja kusewa, dan mengemudikannya. Aku tahu karena cinta seseorang bisa menjadi lemah. Dan karena itu Ron begitu lemah, sangat lemah.
"City Jail?", tanya Ron dengan wajah bingung.
"Buktikan cintamu dengan mengatakan apa yang kau lakukan pada polisi!", perintahku dan dia hanya mengangguk.
“Tunggu, bagaimana bisa kode 412105 itu justru mengaktifkan bomnya bukan menghentikannya?”, aku bertanya sambil berusaha mengemudi dengan baik.
“Telah kumodifikasi!”, balasnya dengan lirih, aku tahu sebuah nada penyesalan mengiringi kata - kata yang meluncur dari mulutnya. Dan aku juga sangat menyesalinya.
Kasus itu telah diproses oleh kepolisian kota Detroit meskipun Ron bersikeras tak mau membocorkan organisasinya pada polisi, yah... aku tahu dia pasti keras kepala.
Hari ini, untuk pertama kalinya kutengok Ron di penjara kota sebelum kasusnya diurus di pengadilan. Sungguh, bila aku harus berkata jujur aku hanya ingin mengatakan "Apapun yang kurasakan selalu sama dengamu, Ron".
Dan hari ini, kulayangkan selembar kertas hitam dengan tinta merah darah bertuliskan :
"412105".
"Kode!".
Ya, sebuah kode yang belakangan kuketahui dibaca ADIOS, bukan ARIOS. Sebuah kode yang membuatku menghargai hidup. Dan aku pun tahu, takkan ada pertemuan tanpa sebuah perpisahan.
"Adios!", Aku mengucapkan kata terakhirku pada Ron sebelum benar - benar pergi meninggalkannya.
"Goodbye!", jawabnya singkat, dan itu membuatku merasa semakin menjauh darinya. Sangat jauh.
Setetes air mataku meluncur, aku berharap merah yang mengalir.
Cinta dan Sebatang Pensil Yang Telah Patah
Aku begitu benci menjalani tiap langkah hidupku yang sekarang. Kupikir semua akan baik-baik saja sepeninggal aku dari kehidupanku yang lalu. Rumah bercat hijau kebiruan itu tak pernah nampak seperti sebuah hunian bagiku. Rumah itu lebih mengena sebagai neraka. Satu persatu kehancuran kurasakan di dalamnya. Setiap nafasku adalah uap panas api yang membara dan setiap perkataanku adalah semburan api yang luar biasa panas. Seperti sejuta kesalahan ada padaku.
Aku, sosok yang selalu tampak ceria dan riang diluar sana namun begitu kakiku melangkah disetiap ubin yang terpasang rata dirumah itu, semuanya berubah. Aku bukanlah aku. Aku terlalu dikuasai emosi yang membara. Aku membenci rumah itu dan segala yang ada didalamnya, kecuali pahlawanku, Bunda.
Desember 2012
Pagi ini, tak lagi kulangkahkan kakiku diatas ubin putih kehijauan itu, aku lelah terus bernafas dalam panasnya suhu yang akan membeludak sewaktu-waktu. Seperti 1000 matahari diledakkan ke langit. Bukan kembang api namun jutaan kilau yang kau sebut hujan matahari. Tak ada memang, tapi bukan tak mungkin akan ada.
Pagi ini pandanganku tak lagi tertuju pada sepetak taman yang bahkan tak layak disebut taman, ukurannya sangat minim dibagi dengan jemuran pakaian yang berpijak diatas tanah kering nan tandus itu.
Mataku menerawang, menjelajah, dan meneropong langit pagi kota yang baru kukunjungi ini. Aku akan berada disini selama aku menyelesaikan bangku SMA-ku. Aku benci mengakui aku pergi menghindar, tapi memang inilah yang terjadi.
Natal minggu depan begitu semarak di daerah tempatku 'numpang'. Mayoritas dari mereka memang orang Cina, Kristen lagi. Aku cuma golongan minoritas yang asli Jawa plus Muslim lagi. Untung tempat kosku tak hanya berisi diriku seorang. Ada Jim, Aris, dan Dion. Cukup ramai walau cuma 4 batang korek dalam 1 kotak korek yang cukup luas.
* * *
Liburan semester akhirnya datang. Kuurungkan niatku pulang, aku malas menginjakkan kaki dirumah bercat hijau kebiruan itu, cukup menelpon Bunda saja kurasa baik-baik saja. Tinggal aku dan Dion serta Petra, seorang pendatang baru dirumah korek kami. Dion sengaja nggak pulang karena duitnya bener-bener miris, uang kiriman dari mamanya juga tak kunjung sampai ke kantong lebarnya yang lebih mirip tas dibanding kantong.
Kalau Petra, kurasa aku mengerti dia meski dia aneh, sangat aneh. Pendiam, kaku, perfeksionis. Penampilannya aja udah perfect dan aku yakin sifatnya juga begitu, sedikit-banyak berbeda denganku. Aku mengatakan ini karena memang kenyataan kami... Well, kau akan tahu nanti.
"Gue rasa chasingnya aja yang oke, tapi ini-nya nggak main", ucap Jim beberapa waktu lalu sambil menunujuk kepalanya.
"Hmm, gue rasa luar dalem oke!", tandas Aris dengan raut wajah kagum kala melihat Petra begitu cepat menyelesaikan tugasnya di tempat kos.
"Seoke-okenya Petra ya masih okean kita lagi, ya nggak?", seru Dion dengan pedenya sambil melirik kami.
Seketika tawa pecah diantara kami. Namun tidak dengan si perfeksionis, Petra Raditya.
* * *
Malam tahun baru telah berlalu sejak seminggu yang lalu. Aku masih ingat saat kami berempat hang out ke alun-alun kota menyaksikan parade kembang api yang sebenarnya layak ditonton anak SD. Yah... Tapi apa boleh buat, dompet bener-bener menipis.
Semua hal tentang kami berempat memang oke, seoke Petra. Meskipun terkadang kami terkesan gila sampai tak sadar apa yang kami lakukan sudah diatas batas normal. Tapi segila apapun kami tetap oke, sekali lagi seoke Petra bahkan bisa lebih dari itu.
Kehadiran Petra diantara kami bagai sebatang korek yang masih baru, bersih dan kuat. Yah... seperti itulah dia didepan kami begitu kuat layaknya jagoan, tapi aku tahu didalamnya begitu rapuh layaknya sebatang korek yang telah disulut api. Dia makhluk aneh mulai dari tatapan sampai perasaannya, untungnya sih dia bukan alien. Dia terlihat biasa saja saat kami berempat heboh dalam pertandingan Motor GP yang disiarkan di sebuah stasiun TV tiap hari Sabtu. Dia tak terpengaruh sama sekali.
Sesekali Jim menjahili rekan sekotak koreknya itu. Namun Petra, bagaimana pun dia cuma membalas dengan senyum kecil yang terkesan dipaksakan.
"Lo punya ide nggak buat njahilin Petra?", Jim memulai pembicaraannya.
"Gak penting!", balas kami bertiga kompak.
Rekan sekotak korek kami yang terkenal paling jahil itu seketika mengerutkan dahinya. Aku tahu maksudnya.
"Lo nggak pada gimana gitu ke Petra?", dia memulai lagi.
"Hee... Gue masih normal, masa gue naksir dia. Cewek masih banyak Jim, masih keliaran bahkan diatas genteng juga", balas Dion dibalas tawa kami berempat.
"Gue paham maksud lo, dia dendiri aja yang gak mau bersosialisasi sama kita", jawabku kemudian diikuti anggukan Aris dan... Si perfeksionis.
"Petra!".
"Yah, gue emang nggak bisa sebebas kalian, tapi inilah gue, thanks udah nerima gue sebagai rekan... hm... sekotak korek", ucapnya diikuti suara pintu yang menutup perlahan.
"He-eh, kenape die...", ucap Dion dengan logat khas Upin Ipin.
Seketika aku pergi meninggalkan rekan-rekanku, kupikir mereka akan mengikutiku dan... tidak.
Kuketuk pintu kamar Petra seperti mengetuk pintu hati yang terlanjur mengeras. Pintu itu terbuka, sesosok lelaki berbadan tinggi, berkulit putih, tampan, berkaca mata, dan... mirip aku itu tersenyum. Senyum yang indah namun berat.
"Boleh masuk nggak?".
"Hem... Okelah!", ucapnya sambil memperbesar ruang masuk dengan menarik handle pintunya.
"Lo... Baik-baik aja kan?", aku memulai pembicaraan sambil melangkahkan kaki kearah jendeka yang sedikit terbuka.
"Sebaik yang lo lihat", balasnya datar, sedatar permukaan kerta yang baru dicetak.
"Buruk dong! Kenapa sih lo! Lo gak usah pura-pura!", balasku.
"Gue gak bisa kayak lo, gue iri sama lo sejak awal kita dilahirin, gue bingung!", jawabnya dengan suara tercekat.
"Being jealous is natural, lo sama gue dari awal kita beda! Gue pun nggak akan mau jadi lo".
"Gue iri karena ada sesuatu diantara kita", ucapnya sambil memainkan pensil yang sedari tadi digenggamnya.
"Kalo itu ada hubungannya sama keluarga kita bahkan kemiripan kita, gue gak bisa apa-apa. Tuhan yang buat kita kayak gini!", balasku dengan suara sedikit membentak kearah Petra yang masih asyik memainkan pensil jadul itu.
Dia cuma diam, takkan menjawab.
"Telinga lo pelit banget ya dengerin ocehan gue! Enak ngomong sama tangan", ucapku lantas duduk diatas bingkai jendela. Kami terdiam, memikirkan sesuatu.
Petra Raditya, cerminan dari diriku, Theo Raditya. Kami kembar... hemm bukan sedikit mirip saja. Tapi Petra tak menerimanya karena banyak alasan dan aku pun begitu. Kuakui Petra sama tingginya denganku, kulitnya putih khas orang Cina dan... tampan seperti ayahnya. Sedangkan aku... memang kita sama tingginya, aku tak seputih maupun setampan Petra. Kulitku kuning langsat khas orang Jawa asli, dan... juga setampan ayahku, meski aku tak sedikitpun ingat wajahnya.
Petra, seorang Kristian keturunan Cina. Mamanya, Mey Lin mewariskan gennya berupa warna kulit, sifat, dan... entah apa lagi pada Petra juga setengah dari ayahnya yang juga ayahku yah... meski lebih dominan dari ayah.
Aku pun juga begitu, seorang Kristian namun keturunan Jawa asli. Bundaku, Erlyn, juga mewariskan setengah gennya padaku dan setengah dari ayahku. Namun tak beberapa lama yang lalu aku merubah keyakinanku sejak mengenal Aris dan sejak kepindahanku kerumah ini, yang selalu kami sebut kotak korek.
Aris, cowok yang terkenal cerdas ini telah mengajarkanku banyak hal termasuk keyakinannya. Dan... kurasa itulah takdirku.
Satu hal yang sangat kubingungkan, bagaimana bisa aku dan Petra mirip dalam artian penampilan padahal kami berbeda Ibu meskipun kami memang satu ayah. Dan fakta yang aneh lagi ayah kami memiliki kembaran yang sedikit lebih 'gelap', Pak Adri namanya.
Hm, aku pernah berpikir jangan-jangan Bundaku menikah dengan Pak Adri dan Mamanya Petra menikah dengan ayah, trus terjadi kesalahan saat di suatu tempat Bunda bertemu ayah dengan Mamanya Petra yang kemudian dituduh berselingkuh dengan Mamanya Petra, yah... entahlah.
Diawal kami dilahirkan, kami memang telah terpisah. hal yang membuatku sanagt benci adalah saat kenyataan mengatakan bahwa menikahi Bundaku dan Mamanya Petra dalam jarak waktu yang tak begitu lama. Tepatnya Petra terlahir lebih dahulu dariku, begitu kata Bunda. Termasuk menggugat cerai hampir bersamaan. Pantas sepanjang hidupku aku hanya melihat ayahku beberapa kali bukan setiap hari dan... bahkan sekarang aku telah melupakannya. Dan... sebenarnya siapa yang dinomor duakan? Maksudku apa Bunda istri tidak sahnya ayah? Huh luar biasa pandainya lelaki itu dalam menipu orang, kuharap aku takkan seperti dia.
"Keluarga macam apa itu? Seperti beberapa ikan dalam kaleng yang telah dibumbui menyerupai ikan sarden namun tak jelas di dalamnya ikan jenis apa saja", pikirku dalam hati saat satu persatu kegilaan ini mulai terbuka celahnya.
"Hah, udahlah! Gue capek ngomong sama orang tuli", ucapku memecah keheningan diantara kami. Petra masih terpaku disudut kiri kamarnya dari pintu yang bersticker logo band Green Day itu. Yah... begitu tampak memang perbedaan kita. Kuakui aku lebih kasar dari Petra yang terkesan lemah lembut itu.
Kudorong tubuhnya mengenai tembok bercat putih itu lalu kuraih handle pintu dan kutarik sekuatku setelah aku berada diluar area aman Petra.
"Brakk!".
Jim terbangun dari mimpinya keliling kota Paris bersama Yessy, cewek yang selalu diharapkannya. Tapi Yessy tak kunjung menjawab permintaannya. Jadi... Ya untuk saat ini memang Jim takkan bersama Yessy. Maka Jim selalu merangkai hidupnya sedemikian rupa agar figur Yessy bisa jadi tokoh pendampingnya. Sayang itu cuma sebata khayalannya. Tapi lumayan seru merutku.
Kamar kos itu kosong malamnya, kulihat begitu rapi, namun barang-barang pemiliknya masih berceceran diberbagai tempat. Pukul 20.00 kulihat lelaki itu dibalik pintu rumah korek kami.
"Petra!", ucap Jim lirih hampir tak terdengar di telingaku ketika lelaki itu masuk ke kamarnya.
Aku, Jim, Dion, dan Aris rencananya mau begadang nonton Box Office Movie disebuah stasiun TV, yang kebetulan ceritanya lumayan bagus, Final Destination. Namun, baru jam 9 malam Jim dan Aris sudah takluk, roboh sebelum berperang. Untung nggak berdarah-darah.
Kurasa kami memang tak ditakdirkan menonton film itu karena tak lama setelah Jim dan Aris tumbang, giliran aku dan Dion yang tewas. Pukul 01.00, kami terbangun setelah sama-sama tergeletak diatas medan karpet dikamar jim dengan TV kedap kedip tiada henti. Film itu sudah selesai dan berganti film lainnya, Far and Away judulnya. Kelihatannya tak menarik jadi let it go. Setela 10 menit terbangun, kami tumbang di medan karpet lagi. Tanpa mengharap tanda jasa kami mulai merangkai untaian mimpi yang terbentang sepanjang jalan.
* * *
Februari 2013
Hujan diawal bulan ini mengingatkanku pada jutaan kenangan dirumah bercat hijau kebiruan itu. Jutaan kenangan itu hanyut terbawa aliran air hujan yang berujung pada samudra yang luas. Tiba-tiba, pikiranku tertuju pada selembar kertas kebiruan yang berisikan puisi Petra, yang kuambil 2 hari yang lalu dari kamarnya. Aku ingin menyimpan apa yang ia miliki, karena entah mengapa aku merasa takkan bertemu dia lagi.
Aku tak mengerti maksud puisi itu, namun mataku tertuju pada beberapa kalimat yang berurutan.
"Sampaikan aku pada hujan yang turun perlahan dari dinding-dinding langit
Suaranya yang gemericik menjadi nyanyian merdu di telingaku
Tetes-tetesnya bagai air mata yang meleleh, membanjiri sepetak tanah yang tandus nan gersang"
"Kupikir tanah tandus nan gersang itu seperti yang ada dirumahku, yang selalu ditanami bunga oleh adik tiriku, Devina tapi tak pernah bertumbuh, tentu saja".
Kulipat kertas kebiruan itu, kuselipkan diantara buku ceritaku yang kudapat semasa TK. Buku itu adalah buku pertama dan terakhir yang kudapat dari Mamanya Petra sebelum kami benar-benar bercerai berai, kubawa serta ketempat kosku agar hatiku bisa merasakan ada Petra dan Mama Mey Lin diantara aku, Bunda, dan ayah.
Meskipun Petra, sosok yang selalu kuagungkan sebagai cerminan diriku dalam kondisi seperfect mungkin tak pernah bersungguh-sungguh menganggapku ada.
Hujan diawal bulan ini menyimpulkan sesuatu, sebuah februari kelabu. Petra telah memutuskan segala bentuk hubungannya denganku. Sesal ini begitu besar sampai kurasa tak ada harapan untuk mengembalikan semua. Aku tahu Petra akan menjauh seiring berjalannya waktu. Namun sejauh apa bintang berlari, cepat atau lambat dia akan kembali menemani sang dewi malam.
Aku tahu, Petra akan kembali, namun disaat itu datang, aku tak yakin aku masih tetap bertahan.
Hujan yang bertamabh lebat, menyampaikan berjuta pesan yang tak kunjung terbaca. Kutelusuri jalannya namun tak kunjung kutemukan sinarnya. Petra akhirnya benar-benar pergi setelah pembicaraan yang menyudutkannya kemarin petang. Kulihat air mukanya begitu sendu dengan setengah berbisik ia berkata, "Theo, gue gak akan ganggu hidup lo lagi, lo udah bukan apa-apa buat gue" lantas meninggalkanku yang masih setia memandangi bulan yang berselimut awan gelap. Tampak sebagian dari cerminanku saat ia mengatakan hal itu, tampak selama ini hidupnya diliputi kepura-puraan dan juga tekanan. Aku tahu, suatu hari memang benar-benar kami takkan berjumpa kecuali sebuah berita datang untuk kami, menyatukan kembali sebatang pensil yang telah patah.
By : MJ X.B
Aku, sosok yang selalu tampak ceria dan riang diluar sana namun begitu kakiku melangkah disetiap ubin yang terpasang rata dirumah itu, semuanya berubah. Aku bukanlah aku. Aku terlalu dikuasai emosi yang membara. Aku membenci rumah itu dan segala yang ada didalamnya, kecuali pahlawanku, Bunda.
Desember 2012
Pagi ini, tak lagi kulangkahkan kakiku diatas ubin putih kehijauan itu, aku lelah terus bernafas dalam panasnya suhu yang akan membeludak sewaktu-waktu. Seperti 1000 matahari diledakkan ke langit. Bukan kembang api namun jutaan kilau yang kau sebut hujan matahari. Tak ada memang, tapi bukan tak mungkin akan ada.
Pagi ini pandanganku tak lagi tertuju pada sepetak taman yang bahkan tak layak disebut taman, ukurannya sangat minim dibagi dengan jemuran pakaian yang berpijak diatas tanah kering nan tandus itu.
Mataku menerawang, menjelajah, dan meneropong langit pagi kota yang baru kukunjungi ini. Aku akan berada disini selama aku menyelesaikan bangku SMA-ku. Aku benci mengakui aku pergi menghindar, tapi memang inilah yang terjadi.
Natal minggu depan begitu semarak di daerah tempatku 'numpang'. Mayoritas dari mereka memang orang Cina, Kristen lagi. Aku cuma golongan minoritas yang asli Jawa plus Muslim lagi. Untung tempat kosku tak hanya berisi diriku seorang. Ada Jim, Aris, dan Dion. Cukup ramai walau cuma 4 batang korek dalam 1 kotak korek yang cukup luas.
* * *
Liburan semester akhirnya datang. Kuurungkan niatku pulang, aku malas menginjakkan kaki dirumah bercat hijau kebiruan itu, cukup menelpon Bunda saja kurasa baik-baik saja. Tinggal aku dan Dion serta Petra, seorang pendatang baru dirumah korek kami. Dion sengaja nggak pulang karena duitnya bener-bener miris, uang kiriman dari mamanya juga tak kunjung sampai ke kantong lebarnya yang lebih mirip tas dibanding kantong.
Kalau Petra, kurasa aku mengerti dia meski dia aneh, sangat aneh. Pendiam, kaku, perfeksionis. Penampilannya aja udah perfect dan aku yakin sifatnya juga begitu, sedikit-banyak berbeda denganku. Aku mengatakan ini karena memang kenyataan kami... Well, kau akan tahu nanti.
"Gue rasa chasingnya aja yang oke, tapi ini-nya nggak main", ucap Jim beberapa waktu lalu sambil menunujuk kepalanya.
"Hmm, gue rasa luar dalem oke!", tandas Aris dengan raut wajah kagum kala melihat Petra begitu cepat menyelesaikan tugasnya di tempat kos.
"Seoke-okenya Petra ya masih okean kita lagi, ya nggak?", seru Dion dengan pedenya sambil melirik kami.
Seketika tawa pecah diantara kami. Namun tidak dengan si perfeksionis, Petra Raditya.
* * *
Malam tahun baru telah berlalu sejak seminggu yang lalu. Aku masih ingat saat kami berempat hang out ke alun-alun kota menyaksikan parade kembang api yang sebenarnya layak ditonton anak SD. Yah... Tapi apa boleh buat, dompet bener-bener menipis.
Semua hal tentang kami berempat memang oke, seoke Petra. Meskipun terkadang kami terkesan gila sampai tak sadar apa yang kami lakukan sudah diatas batas normal. Tapi segila apapun kami tetap oke, sekali lagi seoke Petra bahkan bisa lebih dari itu.
Kehadiran Petra diantara kami bagai sebatang korek yang masih baru, bersih dan kuat. Yah... seperti itulah dia didepan kami begitu kuat layaknya jagoan, tapi aku tahu didalamnya begitu rapuh layaknya sebatang korek yang telah disulut api. Dia makhluk aneh mulai dari tatapan sampai perasaannya, untungnya sih dia bukan alien. Dia terlihat biasa saja saat kami berempat heboh dalam pertandingan Motor GP yang disiarkan di sebuah stasiun TV tiap hari Sabtu. Dia tak terpengaruh sama sekali.
Sesekali Jim menjahili rekan sekotak koreknya itu. Namun Petra, bagaimana pun dia cuma membalas dengan senyum kecil yang terkesan dipaksakan.
"Lo punya ide nggak buat njahilin Petra?", Jim memulai pembicaraannya.
"Gak penting!", balas kami bertiga kompak.
Rekan sekotak korek kami yang terkenal paling jahil itu seketika mengerutkan dahinya. Aku tahu maksudnya.
"Lo nggak pada gimana gitu ke Petra?", dia memulai lagi.
"Hee... Gue masih normal, masa gue naksir dia. Cewek masih banyak Jim, masih keliaran bahkan diatas genteng juga", balas Dion dibalas tawa kami berempat.
"Gue paham maksud lo, dia dendiri aja yang gak mau bersosialisasi sama kita", jawabku kemudian diikuti anggukan Aris dan... Si perfeksionis.
"Petra!".
"Yah, gue emang nggak bisa sebebas kalian, tapi inilah gue, thanks udah nerima gue sebagai rekan... hm... sekotak korek", ucapnya diikuti suara pintu yang menutup perlahan.
"He-eh, kenape die...", ucap Dion dengan logat khas Upin Ipin.
Seketika aku pergi meninggalkan rekan-rekanku, kupikir mereka akan mengikutiku dan... tidak.
Kuketuk pintu kamar Petra seperti mengetuk pintu hati yang terlanjur mengeras. Pintu itu terbuka, sesosok lelaki berbadan tinggi, berkulit putih, tampan, berkaca mata, dan... mirip aku itu tersenyum. Senyum yang indah namun berat.
"Boleh masuk nggak?".
"Hem... Okelah!", ucapnya sambil memperbesar ruang masuk dengan menarik handle pintunya.
"Lo... Baik-baik aja kan?", aku memulai pembicaraan sambil melangkahkan kaki kearah jendeka yang sedikit terbuka.
"Sebaik yang lo lihat", balasnya datar, sedatar permukaan kerta yang baru dicetak.
"Buruk dong! Kenapa sih lo! Lo gak usah pura-pura!", balasku.
"Gue gak bisa kayak lo, gue iri sama lo sejak awal kita dilahirin, gue bingung!", jawabnya dengan suara tercekat.
"Being jealous is natural, lo sama gue dari awal kita beda! Gue pun nggak akan mau jadi lo".
"Gue iri karena ada sesuatu diantara kita", ucapnya sambil memainkan pensil yang sedari tadi digenggamnya.
"Kalo itu ada hubungannya sama keluarga kita bahkan kemiripan kita, gue gak bisa apa-apa. Tuhan yang buat kita kayak gini!", balasku dengan suara sedikit membentak kearah Petra yang masih asyik memainkan pensil jadul itu.
Dia cuma diam, takkan menjawab.
"Telinga lo pelit banget ya dengerin ocehan gue! Enak ngomong sama tangan", ucapku lantas duduk diatas bingkai jendela. Kami terdiam, memikirkan sesuatu.
Petra Raditya, cerminan dari diriku, Theo Raditya. Kami kembar... hemm bukan sedikit mirip saja. Tapi Petra tak menerimanya karena banyak alasan dan aku pun begitu. Kuakui Petra sama tingginya denganku, kulitnya putih khas orang Cina dan... tampan seperti ayahnya. Sedangkan aku... memang kita sama tingginya, aku tak seputih maupun setampan Petra. Kulitku kuning langsat khas orang Jawa asli, dan... juga setampan ayahku, meski aku tak sedikitpun ingat wajahnya.
Petra, seorang Kristian keturunan Cina. Mamanya, Mey Lin mewariskan gennya berupa warna kulit, sifat, dan... entah apa lagi pada Petra juga setengah dari ayahnya yang juga ayahku yah... meski lebih dominan dari ayah.
Aku pun juga begitu, seorang Kristian namun keturunan Jawa asli. Bundaku, Erlyn, juga mewariskan setengah gennya padaku dan setengah dari ayahku. Namun tak beberapa lama yang lalu aku merubah keyakinanku sejak mengenal Aris dan sejak kepindahanku kerumah ini, yang selalu kami sebut kotak korek.
Aris, cowok yang terkenal cerdas ini telah mengajarkanku banyak hal termasuk keyakinannya. Dan... kurasa itulah takdirku.
Satu hal yang sangat kubingungkan, bagaimana bisa aku dan Petra mirip dalam artian penampilan padahal kami berbeda Ibu meskipun kami memang satu ayah. Dan fakta yang aneh lagi ayah kami memiliki kembaran yang sedikit lebih 'gelap', Pak Adri namanya.
Hm, aku pernah berpikir jangan-jangan Bundaku menikah dengan Pak Adri dan Mamanya Petra menikah dengan ayah, trus terjadi kesalahan saat di suatu tempat Bunda bertemu ayah dengan Mamanya Petra yang kemudian dituduh berselingkuh dengan Mamanya Petra, yah... entahlah.
Diawal kami dilahirkan, kami memang telah terpisah. hal yang membuatku sanagt benci adalah saat kenyataan mengatakan bahwa menikahi Bundaku dan Mamanya Petra dalam jarak waktu yang tak begitu lama. Tepatnya Petra terlahir lebih dahulu dariku, begitu kata Bunda. Termasuk menggugat cerai hampir bersamaan. Pantas sepanjang hidupku aku hanya melihat ayahku beberapa kali bukan setiap hari dan... bahkan sekarang aku telah melupakannya. Dan... sebenarnya siapa yang dinomor duakan? Maksudku apa Bunda istri tidak sahnya ayah? Huh luar biasa pandainya lelaki itu dalam menipu orang, kuharap aku takkan seperti dia.
"Keluarga macam apa itu? Seperti beberapa ikan dalam kaleng yang telah dibumbui menyerupai ikan sarden namun tak jelas di dalamnya ikan jenis apa saja", pikirku dalam hati saat satu persatu kegilaan ini mulai terbuka celahnya.
"Hah, udahlah! Gue capek ngomong sama orang tuli", ucapku memecah keheningan diantara kami. Petra masih terpaku disudut kiri kamarnya dari pintu yang bersticker logo band Green Day itu. Yah... begitu tampak memang perbedaan kita. Kuakui aku lebih kasar dari Petra yang terkesan lemah lembut itu.
Kudorong tubuhnya mengenai tembok bercat putih itu lalu kuraih handle pintu dan kutarik sekuatku setelah aku berada diluar area aman Petra.
"Brakk!".
Jim terbangun dari mimpinya keliling kota Paris bersama Yessy, cewek yang selalu diharapkannya. Tapi Yessy tak kunjung menjawab permintaannya. Jadi... Ya untuk saat ini memang Jim takkan bersama Yessy. Maka Jim selalu merangkai hidupnya sedemikian rupa agar figur Yessy bisa jadi tokoh pendampingnya. Sayang itu cuma sebata khayalannya. Tapi lumayan seru merutku.
Kamar kos itu kosong malamnya, kulihat begitu rapi, namun barang-barang pemiliknya masih berceceran diberbagai tempat. Pukul 20.00 kulihat lelaki itu dibalik pintu rumah korek kami.
"Petra!", ucap Jim lirih hampir tak terdengar di telingaku ketika lelaki itu masuk ke kamarnya.
Aku, Jim, Dion, dan Aris rencananya mau begadang nonton Box Office Movie disebuah stasiun TV, yang kebetulan ceritanya lumayan bagus, Final Destination. Namun, baru jam 9 malam Jim dan Aris sudah takluk, roboh sebelum berperang. Untung nggak berdarah-darah.
Kurasa kami memang tak ditakdirkan menonton film itu karena tak lama setelah Jim dan Aris tumbang, giliran aku dan Dion yang tewas. Pukul 01.00, kami terbangun setelah sama-sama tergeletak diatas medan karpet dikamar jim dengan TV kedap kedip tiada henti. Film itu sudah selesai dan berganti film lainnya, Far and Away judulnya. Kelihatannya tak menarik jadi let it go. Setela 10 menit terbangun, kami tumbang di medan karpet lagi. Tanpa mengharap tanda jasa kami mulai merangkai untaian mimpi yang terbentang sepanjang jalan.
* * *
Februari 2013
Hujan diawal bulan ini mengingatkanku pada jutaan kenangan dirumah bercat hijau kebiruan itu. Jutaan kenangan itu hanyut terbawa aliran air hujan yang berujung pada samudra yang luas. Tiba-tiba, pikiranku tertuju pada selembar kertas kebiruan yang berisikan puisi Petra, yang kuambil 2 hari yang lalu dari kamarnya. Aku ingin menyimpan apa yang ia miliki, karena entah mengapa aku merasa takkan bertemu dia lagi.
Aku tak mengerti maksud puisi itu, namun mataku tertuju pada beberapa kalimat yang berurutan.
"Sampaikan aku pada hujan yang turun perlahan dari dinding-dinding langit
Suaranya yang gemericik menjadi nyanyian merdu di telingaku
Tetes-tetesnya bagai air mata yang meleleh, membanjiri sepetak tanah yang tandus nan gersang"
"Kupikir tanah tandus nan gersang itu seperti yang ada dirumahku, yang selalu ditanami bunga oleh adik tiriku, Devina tapi tak pernah bertumbuh, tentu saja".
Kulipat kertas kebiruan itu, kuselipkan diantara buku ceritaku yang kudapat semasa TK. Buku itu adalah buku pertama dan terakhir yang kudapat dari Mamanya Petra sebelum kami benar-benar bercerai berai, kubawa serta ketempat kosku agar hatiku bisa merasakan ada Petra dan Mama Mey Lin diantara aku, Bunda, dan ayah.
Meskipun Petra, sosok yang selalu kuagungkan sebagai cerminan diriku dalam kondisi seperfect mungkin tak pernah bersungguh-sungguh menganggapku ada.
Hujan diawal bulan ini menyimpulkan sesuatu, sebuah februari kelabu. Petra telah memutuskan segala bentuk hubungannya denganku. Sesal ini begitu besar sampai kurasa tak ada harapan untuk mengembalikan semua. Aku tahu Petra akan menjauh seiring berjalannya waktu. Namun sejauh apa bintang berlari, cepat atau lambat dia akan kembali menemani sang dewi malam.
Aku tahu, Petra akan kembali, namun disaat itu datang, aku tak yakin aku masih tetap bertahan.
Hujan yang bertamabh lebat, menyampaikan berjuta pesan yang tak kunjung terbaca. Kutelusuri jalannya namun tak kunjung kutemukan sinarnya. Petra akhirnya benar-benar pergi setelah pembicaraan yang menyudutkannya kemarin petang. Kulihat air mukanya begitu sendu dengan setengah berbisik ia berkata, "Theo, gue gak akan ganggu hidup lo lagi, lo udah bukan apa-apa buat gue" lantas meninggalkanku yang masih setia memandangi bulan yang berselimut awan gelap. Tampak sebagian dari cerminanku saat ia mengatakan hal itu, tampak selama ini hidupnya diliputi kepura-puraan dan juga tekanan. Aku tahu, suatu hari memang benar-benar kami takkan berjumpa kecuali sebuah berita datang untuk kami, menyatukan kembali sebatang pensil yang telah patah.
By : MJ X.B
Cerpen : HAPPY NEW YEAR 2012
Dua hal yang tak pernah kuhiraukan dalam hidupku adalah aku dan hidupku sendiri. Aku membenci keduanya. Semua hal tentang hidupku tidaklah semudah dan seindah cerita di negeri dongeng. Dan semua hal tentang aku adalah sesuatu yang membosankan, menyebalkan, penuh duka dan air mata, ketakutan, dan kekecewaan.
Aku takkan mengatakannya bila semua keadaan yang ada dihidupku tak begitu buruk. Tak perlu berpura-pura menangispun hatiku kan selalu menangis. mataku terlalu tegar untuk meneteskan lelehan air mata, namun tidak dengan hatiku.
Desember 2011.
Hujan diawal pergantian tahun ini benar-benar menuntaskan seluruh pengharapanku setahun kemarin. Jutaan kembang api tetap diledakkan menghancurkan gumpalan-gumpalan awan meski tertimpa rintik-rintik hujan.
Mataku menjelajah semua, seluruh keadaan di rumah ini telah kuamati. Hanya aku yang terkurung dalam sepetak ruang yang menyesakkan ini. Aku menangis sedalam-dalamnya dalam hati. Mataku hanya mampu menatap tetes-tetes air yang jatuh ke bumi. Langit seperti mengertiku. Menangis bersamaku dan untukku.
Punggungku tersandar pada sebuah kursi yang setia bersamaku sejak kepindahanku ke kamar ini. Angin berhembus perlahan mengibarkan sepasang bendera merah bertuliskan beberapa kata "Bestfriend Forever, Keep Fight, Keep Spirit, And Keep Pray". Sebuah bendera berbentuk tetes air dari sahabatku, Daisy.
Bendera itu terus berkibar tertiup angin yang makin kencang. Seolah-olah mengatakan sesuatu, aku tak menyadarinya, dan takkan menyadarinya. Langit menggelap, bulan mulai menggantung diantara bintang-bintang. Hujan mulai reda dan angin mulai bersahabat. Jutaan kembang api itu terus meledak di langit petang. Bagai lampu yang menyala berkedip-kedip, ketika salah satu mati maka yang lainnya akan hidup, dan terus seperti itu.
Dan aku ingin seperti itu.
Aku tak ingin larut dalam kesedihan, kala kudapati seisi rumah telah pergi. Aku tahu, tahun baru mereka akan luar biasa. Mereka akan terus bersama. Kuraih handphone yang sedari tadi tergeletak mati diatas tes berwarna merah yang terdampar diatas meja.
Kutelusuri list lagu yang ada di dalamnya. Namun belum sempat kutemukan lagu yang kucari, hpku berdering, sebuah pesan singkat masuk.
From : Daisy
"Cheers to a new year and another chance for us to get it right."
Sebuah kata mutiara dari seorang Oprah Gayle Winfrey. Kubalas pesannya dengan kalimat yang mungkin tak begitu nyambung, otakku sudah benar-benar buntu.
"God bless us!"
Pikiranku tak lagi tertuju pada pesan balasan dari Daisy, keluargaku yang meninggalkanku, atau list lagu di hpku, bahkan ledakan jutaan kembang api. Aku mengerti makna seuntai kata mutiara Oprah itu. Dan aku tahu apa yang harus kuperbuat. Dan aku berpikir akan memulainya mulai dari sekarang.
* * *
Jalanan kota ini benar-benar padat oleh berbagai jenis kendaraan terutama mobil dan motor, rata-rata tujuannya sama "Merayakan Pergantian Tahun". Dengan hanya ditemani jaket berwarna merah marun dan topi warna senada, tak lupa hp dan beberapa lembar uang bonus segenggam permen, kulangkahkan kakiku yang dilapisi jeans biru sepanjang mata kaki.
Suara kembang api meledak-ledak di telingaku, dan aku suka irama itu. Tak cukup dengan suara ledakan kembang api yang membelah angkasa, namun juga ada lengkingan suara terompet kertas bersahut-sahutan, serta irama klakson memecah gelapnya malam itu.
Aku tahu harus kemana malam ini, kakiku terhenti pada sebuah perkumpulan yang kira-kira telah dihadiri sekitar 20-an anak seusiaku itu. Aku tak salah, ke-20nya adalah teman terbaikku semasa SMP. Aku memang telah membuat janji dengan mereka, namun kemarin kubatalkan, tapi pikiranku tak bisa statis. Dan tadi, kuiyakan ajakan mereka. Aku tahu akan ada banyak moment istimewa dengan mereka ketimbang dengan keluargaku atau dengan kehampaan kamarku.
Malam itu, kulihat senyum mengembang di wajah mereka kala kudekati mereka. Senyum semanis dan setulus itu mampu meredakan kobaran api yang telah membara sejak aku merenung di kamar tadi.
"Aria...!", teriak sebuah suara di belakangku, suara yang tak lagi asing bagiku.
"Daisy!", ujarku lalu menghambur ke arahnya. Kupeluk dia erat-erat.
hari ini, pertama kalinya setelah 3 tahun kami memutuskan berpisah. Bukan kami namun keadaan yang menginginkannya. Daisy harus pindah keluar kota bersama Ayah dan Ibunya. Sedangkan aku terjebak di kota ini ditengah orang-orang yang tak memperdulikanku.
"Ehm! Udah selesai?", tanya sebuah suara, Violet.
Ayo guys! Dimulai sekarang aja, nunggu apa lagi?", kata Andy.
"Oke!", jawab kami ber-22, kami berkumpul, melingkar dan...diskusi.
Kami dibagi menjadi 3 kelompok. Sebelumnya Ozy telah ‘memalak’ kami sebesar Rp. 5.000/anak. Lalu dikoordinir ke 3 kelompok yang ada, rata-rata mendapat Rp. 37.000.
Kelompok 1 diketuai Ozy, mendapat jatah kembang api.
Kelompok 2 diketuai Markus, mendapat jatah konsumsi berupa coklat, jagung, kerupuk, dan apapun itu yang dapat dicerna oleh cacing-cacing di perut kami.
Kelompok 3 kuketuai, mendapat jatah perlengkapan dan peralatan pendukung kelompok 1 dan 2 serta hiburan.
Tepat pukul 21.00, kami berkumpul kembali setelah hunting bermacam-macam kebutuhan Tahun Baru kami.
Semua telah lengkap kecuali…memulainya.
Kami memulai dengan persiapan kembang api, lalu kayu bakar dan makanan, serta handphone dengan suara nyaring sekali.
Persiapan lengkap pukul 23.30, setengah jam lagi peledakan sejuta, semilyar, bahkan setrilyun perasaan tak terungkapkan selama setahun kebelakang.
“Team 1, kembang api siap?”, tanya Markus yang didaulat sebagai ketua perayaan pergantian tahun kali ini.
“Siap!’, ucap seluruh anggota kelompok 1 bersamaan.
“Team 2, semua bahan konsumsi siap?”, tanya Markus sekali lagi.
“Siap kemana bos? Ke perut? Kalo itu sih udah, ga diminta gue kerjain”, celetuk Rey sekenanya diikuti sorot tajam kedua mata Markus dan gelak tawa kami semua.
“Team 3, siap?”, tanya Markus untuk terakhir kalinya.
“Siap, bro!”, jawab seluruh anggota teamku dengan kompak.
Waktu yang ditentukan tiba, kami menghitung mundur waktu peledakan 22 hati, 22 cinta, 22 harapan, dan 22 duka ke angkasa.
“Lima… Empat… Tiga… Dua… “,
“Dorr!!! Ngiiing… Dorr!!! Dorr!!!”.
“Ngiing… Dorr!!! Dorr!!! Bumm…”
Sebuah kembang api meledak diikuti yang lainnya bersamaan dengan alunan suara Katy Perry dalam lagu Fireworks (kembang api).
Lagu itu mengalun dan akhirnya menuju bagian utama lagi itu. Dan… Kami bernyanyi bersama sambil bergandeng tangan, melingkar mengelilingi api unggun sambil menatap jutaan kembang api yang diledakkan menembus dinding-dinding langit pekat.
‘… Cause baby you’re a firework
Come on show ‘em what you’re worth
Make ‘em go oh, oh, oh!
As you shoot across the sky-y-y
Baby you’re firework
Come on let your colors burst
Make ‘em go oh, oh, oh!
You’re gonna leave ‘em falling down, own, own…’
Setelah puluhan kembang api kami habis, kami duduk melingkari api unggu, Markus mengambil banyak makanan dan membakarnya di api unggun.
Semuanya… Luar biasa. Seakan aku tak pernah memiliki hidup yang kelam, seakan dunia milik kami ber-22. Seakan tak ada lagi duka dan sayatan-sayatan tajam di hati.
Kami melepas semua perasaan kami bersama jutaan kembang api yang telah diledakkan malam ini dan… Berhasil.
Musik tak pernah berhenti dan masih terus berputar, kali ini bukan lagi lagu Katy Perry, namun sebuah lagu dari band Muse, dan kami menyanyikannya bersama, meskipun Eko dan Andy tak mengerti lagu ini, meskipun suara sumbang kami bersahutan, namun kami menikmatinya, sangat menikmatinya.
‘… Hold you in my arms
I just wanted to hold you in my arms…’
Kami semua tertawa sepuasnya, tanpa batas, lepas, dan bebas.
Amy melanjutkan liriknya yang terpotong.
‘… My life
You electrify my life
Let’s conspire to re-ignite
All the souls that would die just to feel alive…’
Kami tertawa lagi begitu puas, lepas, dan bebas.
Lagunya selesai namun gelak tawa dan suka cita kami tak mungkin selesai pula. Jam tanganku menuju angka 01.30. Malam terlalu larut, namun aku tak akan pulang sekarang. ‘Ini hidupku bukan hidup siapapun’, pikirku dalam hati.
Makanan kami telah matang, ditemani ledakan jutaan kembang api, suara nyaring terompet kertas, suara alunan lagu band Peterpan ‘Semua Tentang Kita’, plus hangatnya udara di sekitar api unggun, bonus kebersamaan yang luar biasa. Lengkaplah sudah segalanya.
Seluruh beban dihidupku rasanya telah terbang dan meledak bersama jutaan kembang api yang berarna-warni.
Kulihat setetes air mata meluncur dari mata seorang Giselle, ketika lagu itu berputar.
“Kawan, kita emang bersama, tapi cepet atau lambat kita bakal berpisah. Aku sayang kalian”, ucapnya penuh ketulusan.
Kami tersenyum mendengarnya, akhirnya dengan dikomando bos Markus, kami mengucapkan janji kami malam ini.
“Demi jutaan kembang api yang telah meledak
Demi puluhan makanan yang tak tersisa
Demi puluhan hati yang menyatu
Demi tawa, cinta, dan cerita kita
Kami bersumpah tahun ini takkan menjadi tahun yang sia-sia
Tiada air mata, kekecewaan, dan penyesalan
Dan kami akan terus bersama meski jarak dan waktu memisahkan
We are the champions in this year and every year in our lives
Dan persahabatan ini takkan berakhir di 1 Januari
God bless us, guys!”.
Kami tertawa dan saling berpelukan.
“Wish you all the best, guys!”, teriak Markus sambil berjoget ketika musiknya berganti menjadi musik disco.
“Dunia bener-bener sempit ya…”, celetuk Karin diikuti anggukan kami. Musik tak berhenti mengalun, hingga kami menyadari sudah begitu larut malam, sangat larut malam. Pukul 02.30 pagi.
Kami berpisah kerumah masing-masing.
“Bye… Sampai jumpa kawan, aku sayang kalian, selalu!”, ucap Bella sambil melambaikan tangannya dan naik ke boncengan motor Andy.
“Malam, pagi apalah terserah. Duluan ya… yang cewek hati-hati ya... maaf gak bisa nganter”, teriak Ozy sambil menge-gas motornya.
“Aku duluan ya rek”, ucap Yeniar, cewek manis asli Surabaya ini.
“Aria, hati-hati ya… Bye! Sampe ketemu lagi”, ucap Daisy sambil memelukku dan berlalu.
Aku menelusuri jalanku sendiri dan menemukan rumah berpagar hitam diujung jalan.
‘Rumahku namun bukan istanaku!’, ucapku dalam hati.
Kubuka pagar bercat hitam itu dan aku ada di lingkungan rumahku. Malam begitu gelap meski kembang api masih meledak-ledak. Tak mungkin kuraih handle semudah itu lalu masuk. Ada 2 kemungkinan, kalau tak terkunci ya… Mereka bakal siap sedia dengan senjata masing-masing untuk memburuku, dan pasti bukan AK atau Revolver, pentungan kayu saja sudah cukup. Hehe.
Aku tak bodoh dan aku tak ceroboh, kubuka jendela kamarku yang tak terkunci lalu menyelinap masuk layaknya perampok, namun aku bukan perampok. Dan… Aku kembali ke hidupku yang sebelumnya.
Kunyalakan kamarku dan mengintip dari dalam kamar. Kulihat kakakku, Arsy dan saudara-saudaraku, Jerry, dan Rena masih sibuk nobar film baru.
Sedangkan aku tak melihat orang tuaku sedari tadi pagi. Mungkin mereka sudah terlelap dalam selimut tebalnya.
Kumatikan kembali lampu kamar dan kunyalakan sebuah lilin putih, kugenggam di tangan kananku. Kuucapkan harapanku… Semuanya!
“Wish everything is the best!”, kataku menutup segala harapanku di tahun ini. Lalu kutiup lilin itu. Dan… Aku merasa damai, lega, bebas, lepas, dan puas.
“Aku Arianty Oxcella berjanji takkan lagi menyesali hidup ini dan selalu bersyukur atas segala pemberian-Nya. Cheers to a New Year and another chance for us to get it… right”, ucapku lalu menarik selimut dan mulai menutup mata. Mencoba bermimpi diawal tahun ini bersama alunan lagu Linkin Park, My December, karena malam ini sekaligus menutup Desemberku tahun kemarin.
Dan… Semoga beruntung ^_^
By : MJ ^.^
Get lucky in every New Year!
My Profile
Kita tak perlu menjadi orang lain untuk bisa merubah dunia.
Ya, itulah motto hidupku. Kalau Bill Gates saja tidak peduli dirinya adalah seorang geek dulunya, dan karena dijauhi teman - temannya justru dia menjadi sosok yang luar biasa peranannya di dunia. So, kenapa kita tidak melakukan hal yang sama?
Terima kasih pada Allah SWT yang telah membuatku hidup di dunia ini. Oh ya, namaku Miftahul Jannah. Nama yang indah bukan? Ya, orang tuaku mengambilkannya dari kitab suci Al-Qur'anyang berarti kunci surga. Tapi, aku lebih suka orang - orang memanggilku Mifta, Atha, atau hanya MJ ya... karena kurasa aku belum seberapa 'layak' mewakili nama yang indah itu, ya tapi bukan tak mungkin aku tak berusaha lebih baik.
Aku dilahirkan pada tanggal 13 Oktober, 15 tahun yang lalu. Dan pada hari itulah untuk pertama kalinya aku berteman dengan dunia. 13, orang bilang ini angka sial, tapi aku takkan mengatakan begitu, bukan karena takut sial, tapi faktanya aku hanya pernah sekali sial di tanggal 13, selebihnya tak pernah.
Oh ya, aku tinggal di sebuah rumah kecil namun meneduhkan. Yang letaknya tak jauh dari SMK PGRI 3, itu ya kalau kalian tahu tempatnya. Dari rumah inilah aku mengenal arti cinta, dari rumah inilah aku belajar menjadi seorang yang tegar dan mandiri mengingat orang tuaku tak begitu banyak memiliki waktu bersamaku dan kedua saudaraku, dari rumah ini juga aku belajar menjadi seorang yang taat beragama.
Dan dari lingkungan disekitar rumah inilah aku mencoba menjadi pribadi yang 'peka' terhadap keadaan sekitarku.
Sejak kecil ibuku selalu menyuruhku membaca buku sebelum tidur dan itu terus berlangsung sampai hari ini, dan itu pula yang membuatku mencintai buku.
Aku adalah orang yang universal terutama untuk urusan musik. Aku suka mendengarkan segala jenis musik yang menurutku memang layak untuk didengarkan, juga bandnya, aku takkan memilih - milih band mana yang bagus tapi itu juga tergantung kualitas band itu sendiri. Tapi kalau aku harus memilih, ya pasti sebuah band rock asal Aguora Hills, California apalagi kalau bukan Linkin Park.
Aku juga punya hobi merangkai khayalan dan mimpi - mimpiku serta mencoba mewujudkannya.
Orang bilang aku ini pendiam, keras kepala, cuek, dan tenang sekaligus menenangkan (haha). Tapi layaknya dua sisi uang yang berbeda aku juga termasuk orang yang humoris, terlebih bila orang itu telah sangat dekat denganku maka semua sifat geje itu akan terlihat, aku orang yang bebas, dan aku juga peka lho, itu juga menurut pendapat orang lain.
Aku selalu membiarkan otakku berpikir, ya salah satunya karena perasaanku begitu tumpul. Jadi, kalau aku harus mengambil keputusan dari hati, itu akan sangat sulit karena ya itu tadi, aku cuek dan juga mudah peka jadi ya diambil tengahnya saja (hehe).
Dan terakhir, karena aku seorang yang bebas dan tenang (kadang - kadang) maka aku menyukai warna hijau dan biru. Warna yang mencerminkan keindahan alam ini. Serta dua warna yang selalu ingin kulihat saat hujan turun, meski logikanya air hujan tak pernah berwarna hijau atau biru, kan?
Dan satu lagi Veni, Vidi, Vici.
Ya, itulah motto hidupku. Kalau Bill Gates saja tidak peduli dirinya adalah seorang geek dulunya, dan karena dijauhi teman - temannya justru dia menjadi sosok yang luar biasa peranannya di dunia. So, kenapa kita tidak melakukan hal yang sama?
Terima kasih pada Allah SWT yang telah membuatku hidup di dunia ini. Oh ya, namaku Miftahul Jannah. Nama yang indah bukan? Ya, orang tuaku mengambilkannya dari kitab suci Al-Qur'anyang berarti kunci surga. Tapi, aku lebih suka orang - orang memanggilku Mifta, Atha, atau hanya MJ ya... karena kurasa aku belum seberapa 'layak' mewakili nama yang indah itu, ya tapi bukan tak mungkin aku tak berusaha lebih baik.
Aku dilahirkan pada tanggal 13 Oktober, 15 tahun yang lalu. Dan pada hari itulah untuk pertama kalinya aku berteman dengan dunia. 13, orang bilang ini angka sial, tapi aku takkan mengatakan begitu, bukan karena takut sial, tapi faktanya aku hanya pernah sekali sial di tanggal 13, selebihnya tak pernah.
Oh ya, aku tinggal di sebuah rumah kecil namun meneduhkan. Yang letaknya tak jauh dari SMK PGRI 3, itu ya kalau kalian tahu tempatnya. Dari rumah inilah aku mengenal arti cinta, dari rumah inilah aku belajar menjadi seorang yang tegar dan mandiri mengingat orang tuaku tak begitu banyak memiliki waktu bersamaku dan kedua saudaraku, dari rumah ini juga aku belajar menjadi seorang yang taat beragama.
Dan dari lingkungan disekitar rumah inilah aku mencoba menjadi pribadi yang 'peka' terhadap keadaan sekitarku.
Sejak kecil ibuku selalu menyuruhku membaca buku sebelum tidur dan itu terus berlangsung sampai hari ini, dan itu pula yang membuatku mencintai buku.
Aku adalah orang yang universal terutama untuk urusan musik. Aku suka mendengarkan segala jenis musik yang menurutku memang layak untuk didengarkan, juga bandnya, aku takkan memilih - milih band mana yang bagus tapi itu juga tergantung kualitas band itu sendiri. Tapi kalau aku harus memilih, ya pasti sebuah band rock asal Aguora Hills, California apalagi kalau bukan Linkin Park.
Aku juga punya hobi merangkai khayalan dan mimpi - mimpiku serta mencoba mewujudkannya.
Orang bilang aku ini pendiam, keras kepala, cuek, dan tenang sekaligus menenangkan (haha). Tapi layaknya dua sisi uang yang berbeda aku juga termasuk orang yang humoris, terlebih bila orang itu telah sangat dekat denganku maka semua sifat geje itu akan terlihat, aku orang yang bebas, dan aku juga peka lho, itu juga menurut pendapat orang lain.
Aku selalu membiarkan otakku berpikir, ya salah satunya karena perasaanku begitu tumpul. Jadi, kalau aku harus mengambil keputusan dari hati, itu akan sangat sulit karena ya itu tadi, aku cuek dan juga mudah peka jadi ya diambil tengahnya saja (hehe).
Dan terakhir, karena aku seorang yang bebas dan tenang (kadang - kadang) maka aku menyukai warna hijau dan biru. Warna yang mencerminkan keindahan alam ini. Serta dua warna yang selalu ingin kulihat saat hujan turun, meski logikanya air hujan tak pernah berwarna hijau atau biru, kan?
Dan satu lagi Veni, Vidi, Vici.
Langganan:
Postingan (Atom)